Menu

Ramah Tamah

(Karya : Lina Nurdiana)

Aku hafal betul kebiasaan kakek berusia 70 tahun itu setiap pagi. Ia selalu memamerkan senyum sepuluh sentinya dan mengucapkan ‘assalamualaikum’ pada orang yang lewat di depan rumahnya. Kebanyakan orang yang ia sapa akan membalas sapaannya dengan senyum yang dipaksakan. Entah apa yang menyebabkan orang itu menganggap keramahan Si Kakek sebagai sesuatu yang menjijikkan.
            Dialah Kakek Rasim. Kakek yang tinggal seorang diri di samping rumahku. Orang pertama yang menerima kedatanganku dengan tangan terbuka saat kepindahanku satu bulan yang lalu. Orang yang membuatku nyaman tinggal di rumah baruku karena keramahannya.
Namun, ada satu hal yang selalu membuatku bingung. Aku sering mendapati segerombolan ibu rumah tangga yang sejenak berhenti dan bergunjing di depan rumah Kakek Rasim.
“ Iya, itu rumahnya.” Tutur seorang ibu rumah tangga. Setelah sejenak para ibu itu mengamati rumah Kakek Rasim, para ibu itu pun bergegas untuk pergi. Aku heran mengapa Kakek Rasim yang ramah bisa-bisanya dipandang seperti seorang kriminalis.
            Apa mungkin karena pekerjaan Kakek Rasim? Jujur. Aku sangat penasaran dengan pekerjaan Kakek Rasim. Aku yang sudah sebulan bertetangga dengannya, sampai sekarang belum tahu apa sebenarnya pekerjaan Kakek Rasim. Yang aku tahu, Kakek Rasim selalu pergi bekerja dengan onthel tuanya pagi-pagi dan pulang saat matahari tepat di atas kepala.
            Atau mungkin, Kakek Rasim adalah seorang pedofil? Aaah, mana mungkin. Buktinya, Tomi, anakku yang baru berusia 5 tahun baik-baik saja setiap berkunjung ke rumahnya. Bahkan Tomi betah berkunjung di rumah Kakek Rasim.
            Lalu, apa yang salah dengan Kakek Rasim?
***
            Aku berjalan menyusuri jalan beraspal yang mulai berwarna kusam. Tak mau ketinggalan, lubang di sana sini pun ikut menggerogoti jalanan membentuk motif polkadot di atas karpet aspal.
            Pasar, tempat tujuanku sudah melambai di ujung sana. Banyak ibu rumah tangga yang berjalan berlawanan arah dariku yang sepertinya usai dari pasar. Mereka pun tersenyum dan menyapaku.
Suasanan ramah tamah yang kental membuatku kagum dan betah tinggal di desa ini. Namun ada satu hal lagi yang mengganjal dalam hatiku. Dari saat aku pindah hingga sekarang, aku tak pernah melihat ada orang yang bersepeda motor ataupun mengendarai mobil yang lewat. Apakah hal itu dilarang di sini? Lantas, mengapa?
Kakiku pun melangkah di bibir pasar. Dari kejauhan, aku menangkap bayangan yang telah ku kenal baik sedang duduk di tepi jalan. Kakek Rasim sedang menatap lurus ke jalan. Kepalanya menggeleng ke kanan-kiri dengan kecepatan yang lambat dengan mata yang awas mencari sesuatu. Sebenarnya apa yang sedang dilakukan Kakek Rasim?
“Iya, itu Kakek Rasim. Iya, aneh bukan.....” Sayup-sayup ku dengar nama Kakek Rasim disebut. Sontak aku menengok asal suara itu dan ku dapati segerombolan ibu rumah tangga sedang asyik bergunjing. Kakiku melangkah tanpa perintah untuk bergabung dalam kerumunan itu.
“Maaf, Bu. Ada apa ya?” Aku bertanya pada ibu berpostur gembul yang sepertinya menjadi ketua kelompok pergunjingan ini.
“Itu lho, Bu. Kakek Rasim. Ibu lihat orang di seberang jalan itu?” Ibu itu menunjuk Kakek Rasim.
            “Iya, Bu. Ada apa?” Tanyaku penasaran.
            “Itu Kakek yang suka mengganggu ketenangan, Bu. Maklum, Bu. Dia hidup sendiri. Sudah tua pula. Tidak heran jika suka mencari sensasi.”
            “Tapi, Bu....”
            “Eh, becak Pak!”
            Terpaksa, aku menelan sisa pertanyaaku karena ibu itu mengejar becak yang lewat. Kembali tanda tanya besar muncul di benakku. Misteri apa yang disimpan dibalik keramahan Kakek Rasim?
***
            Kali ini aku sudah tidak tahan lagi. Ku beranikan diriku untuk bertanya pada Kakek Rasim. Aku heran. Mengapa masalah sesepele ini begitu mengganjal di fikiranku? Padahal Kakek Rasim bukan bagian dari keluargaku.
            Aku pun mengambil rantang yang berisi makanan yang ku persiapkan untuk Kakek Rasim. Bukan hari ini saja aku mengirim makanan untuk Kakek Rasim. Hampir setiap hari aku mengiriminya makan siang.
            Aku pun melangkah menuju rumah Kakek Rasim. Sengatan matahari pukul dua siang dan bunyi gesekan sandal dan tanah sedikit membuat keberanianku pudar. Bukankah pekerjaan itu sah-sah saja bila ditanyakan?
            Aku sampai di depan rumah Kakek Rasim. Ku ketuk pintu rumahnya dan sosok berkulit sawo matang dengan kerutan yang memeluk tubuhnya pun membukakan pintu. Senyum sepuluh senti yang memamerkan giginya yang sudah tidak lengkap pun tak ketinggalan.
            “Eh, Dek Ani. Masuk dek.” Aku pun masuk dengan senyum mengembang di bibirku.
            “Iya, Kek.” Kakek Rasim duduk dan aku pun mengikutinya.
            “Ini, Kek. Saya bawa makanan buat Kakek. Semoga Kakek suka.” Ku sodorkan rantang putih yang ku bawa. Tangan Kakek Rasim terulur menyambut rantangku.
            “Terimakasih, Dek Ani. Adek selalu baik pada saya.”
            “Sama-sama, Kek. Kakek juga selalu baik pada saya.”
            Tawa khas orang tua milik Kakek Rasim pecah. Aku pun ikut tertawa tanpa menghilangkan rasa sopanku. Aku terdiam sejenak. Menimbang apakah ini waktu yang tepat untuk melepaskan pertanyaan yang telah ku siapkan dari rumah.
            “Kek, maaf saya ingin bertanya. Sebenarnya apa pekerjaan Kakek? Kok saya lihat setiap pagi kakek selalu pergi dengan onthel dan pulang setiap siang.
            Kakek Rasim terdiam sejenak. Mungkinkah aku salah bicara?
            “Pekerjaan Kakek itu sederhana, Dek. Kakek menjaga setiap orang agar tidak lupa arti keramah-tamahan. Agar setiap orang tetap bertegur sapa.” Senyum sepuluh senti Kakek Rasim kembali berkembang.
            Aku terdiam. Sedikit berfikir. Apa ada pekerjaan yang tidak masuk akal seperti itu? Lantas jika ada, pekerjaan macam apa itu?
            Aku sadar sudah lama aku berfikir dalam diam. Aku pun pamit kepada Kakek Rasim. Dalam perjalanan pulang yang hanya membutuhkan tidak lebih dari 50 langkah, otakku tak henti memikirkan apa sebenarnya pekerjaan Kakek Rasim. Bertanya bukannya memberiku titik terang, namun membuat tanda tanya di kepalaku menjadi lebih besar.
            “Bu Ani! Dari mana?” Lamunanku buyar oleh tangan yang menepuk pundakku. Ku tengok asal suara itu. Bu Sari.
            “Oh. Dari rumahnya Kakek Rasim. Baru saja memberi makanan dan berbincang sedikit dengan Kakek Rasim.” Jawabku dengan senyum mengembang di bibirku.
            “Loh! Bukannya Kakek Rasim sudah meninggal tadi karena serangan jantung. Warga segera melarikannya ke rumah sakit tapi terlambat. Maklum lah Bu, diantar becak mana bisa cepat? Dari dulu, setiap motor dan mobil yang melintas selalu digembosi bannya oleh Kakek Rasim. Hasilnya, sampai sekarang tidak ada mobil atau motor yang lewat di sekitar sini. Katanya, agar setiap warga tetap saling menyapa. Tapi caranya cukup meresahkan warga, Bu.”
            Jantungku bergetar. Bulu kudukku meremang. Jadi, tadi yang berbincang denganku? Mungkinkah? Arwah Kakek Rasim. Arwah yang masih sangat ramah walau tanpa raga.