Menu

Ubur - Ubur Terbang

(Oleh : Lina Nurdiana)

Aku adalah manusia dalam kebimbangan. Yang sarat akan keyakinan, namun masih menanyakan pantaskah keyakinannya bergelayut dalam otaknya. Manusia yang menggambarkan dirinya sebagai ubur-ubur yang menginginkan dirinya untuk terbang menjelajah cakrawala.
            Tapi toh sah-sah saja jika aku mengharapkan satu hal ini. Manusia terbiasa hidup dengan harapan konyol bukan? Seperti aku yang mengharapkan bisa berlari tanpa menggunakan kaki. Ya. Orang bilang aku cacat. Tapi tidak bagiku. Bagiku, kakiku hanya sedang beristirahat panjang.
***
            “Bella, kamu beneran mau ikut lomba lari itu?” Tiba-tiba Tia duduk di sampingku.
            Aku hanya mengangguk. Aku tak menjawab perkataan atlit lari sekolah di sampingku ini. Sebab aku tahu, ada bom di mulutnya yang setiap saat siap untuk dilemparkannya padaku.
            “Hahaha.. Jangan bercanda deh. Kamu mau lari pakai apa? Kruk? Kursi Roda? Atau kamu mau ngesot?” Bom Tia sudah dilemparkannya padaku tapi aku berhasil menangkisnya.
            “Jangan bilang kamu takut ngelawan aku.” Aku tersenyum padanya.
            Raut mukanya berubah menjadi menghina.
            “Siapa bilang? Logika dong. Aku tuh atlit lari di SMA ini. Sedangkan kamu? Benalu di pohon mangga. Aku gak habis pikir. Spesies seperti kamu bisa-bisanya diterima  di sekolah elit ini.” Aku yakin Tia habis makan 1 ton cabai rawit hingga perkataannya sepedas ini.
            “Tia, kemampuan itu penting. Tapi yang lebih penting adalah tekad. Aku mau ke kantin dulu.” Aku pun meraih krukku dan berdiri. Tapi setelah aku mengambil langkah pertama, Tia berdiri dan menendang krukku. Otomatis aku terjatuh.
            “Jadi anak itu gak usah blagu.” Aku mencoba mengambil krukku, namun saat tanganku akan meraihnya, Tia menyeret krukku dengan kakinya.
            “Kalau ada orang bicara itu harus diperhatiin.” Nada suara Tia meninggi. Aku pun menatap mata Tia dalam diam. Dalam matanya, aku melihat ada monster yang sedang mengaum memamerkan gigi tarignya. Oh Tuhan.. Bisa-bisanya aku berhadapan dengan orang seperti ini.
            Tia berdiri dengan lutunya dan mendekatkan wajahnya pada wajahku. Dia meraih krukku dan memukul mukulnya ke lantai.
            “Tia.. udah.. Tia.. udah.. Kamu bahkan gak ngerti kan gimana rasanya hidup dalam keterbatasan sepertiku. Kamu juga bahkan gak ngerti kan arti harapan di mataku. Harapan itu harus diwujudin. Bisa gak, gak jadi orang yang sirik yang mencoba jadi monster yang menghalangi aku meraih harapanku?” Kataku dengan berkobar-kobar.
            Tia berhenti memukul-mukul krukku. Dan tepat pada saat itu, setetes air mataku bergulir di pipiku.
            “Tia! Ke ruang BP sekarang!”
            Aku menoleh ke asal suara itu dan mendapati Bu Ani sedang berdiri di ambang pintu. Dan saat itu pula, aku baru sadar jika teman-teman sekelasku berdiri mematung dengan mata terpaku pada kami.
            Tia pun melangkahkan kakinya ke ruang BP dan Bu Ani pun menghampiriku. Beliau tersenyum dan menyerahkan krukku.  Di tanganku, nampak krukku yang babak belur. Aku pun berdiri.
            “Ibu ingin bicara denganmu.” Ucap Bu Ani.
            Kami pun duduk di tempat dudukku.
            “Ibu dengar, kamu ikut lomba lari minggu depan ya?” Entah mengapa, pertanyaan Bu Ani serasa menusuk hatiku. Aku hanya terdiam.
            “Ini sepatu roda buat kamu. Semoga ukurannya pas. Ibu yakin kamu anak yang tangguh.” Bu Ani memberikan sebuah kotak padaku dan aku menerimanya. Aku mengerutkan keningku.
            “Tapi Bu? Apa dibolehin pakai sepatu roda?”
            “Memang di persyaratan lomba disebutin tidak boleh memakai sepatu roda?” Bu Ani tersenyum. Aku pun ikut tersenyum karena memang tak ada peraturan dilarang memakai sepatu roda. Akhirnya, ubur-ubur pun menemukan sayapnya untuk terbang.
***
            Aku tengah bersiap-siap di kelas. Latihan seminggu membuatku yakin aku sudah mampu mengikuti lomba lari ini. Meski hasilnya lecet di sana-sini. Aku tengah memakai sepatu roda di kaki kananku. Baru saja aku hendak memakai sepatu di sebelah kiri, ada tangan yang merampas sepatu sebelah kiriku. Ternyata itu Tia.
            “Sampai jumpa di garis finish.” Senyum iblis Tia mengembang dan secepat kilat ia membawa pergi sepatu kiriku.
            Aku hanya bisa memandangi punggung Tia yang perlahan menghilang dari pandangan. Aku mencoba berdiri. Namun sulit menjaga keseimbangan dengan satu sepatu roda. Apakah ini pertanda aku harus mengalah sebelum perang?
***
            Kalau saja aku mengalah sebelum perang, aku tidak akan berdiri di sini sekarang. Berdiri dengan medali juara I mengalung di leherku. Aku memandang celanaku di bagian lutut yang sobek. Celana yang menjadi saksi bisu saat aku berulang kali terjatuh dan bangkit lagi.  Jatuh dan bangun, itu sepaket bukan? Begitupun halangan dan harapan.
            Aku memandang kerumunan siswa yang memenuhi lapangan basket, tempat arena acara lomba lari tingkat sekolah. Bagiku, ini bukanlah kemenangan. Tapi ini pembuktian, bahwa ubur-ubur pun bisa terbang.