(Oleh : Lina Nurdiana)
Setiap orang di dunia ini pasti mempunyai
cerita hidupnya masing-masing. Tapi lain halnya dengan diriku. Aku manusia yang
cerita hidupnya adalah menceritakan kisah hidup orang lain. Aku adalah sebuah
pena. Aah, bukan. Apa iya pena punya tangan, kaki, mata, alis, telinga dan
organ tubuh manusia lainnya? Ok. Sebut saja aku pena hidup.
Di
sini, aku ingin menjadi pena yang baik hati yang akan menuliskan kisah hidup
orang-orang di sekitarku. Aku bingung. Kenapa orang-orang di sekitarku tak
pernah sependapat denganku. Baiklah, aku mulai saja.
Aku
hidup dalam keluarga yang cinta akan kebebasan. Emm, mungkin juga cinta akan
‘kebablasan’. Ibuku. Aku paling kagum sama dia. Dia hebat. Percaya gak? Kalau
ibuku adalah keturunan naga? Pasti gak percaya. Kalau aku sih, percaya. Ibuku
tuh bisa nyemburin asap dari mulutnya. Serius. Bahkan tiap hari dia selalu
nyemburin asap. Tapi bedanya sama naga, sebelum nyemburin asap, Ibuku harus
menghisap pusakanya. Pusakanya bisa dibeli di warung-warung. Aku sedikit kurang
setuju dengan nama pusaka itu. Masak pusaka sehebat itu dinamain rokok? Kan
kurang keren. Harusnya dinamain Hogward
atau Hocus Pocus. Dan sebenarnya aku lebih setuju lagi kalau dinamain
Oplosan. Keren tuh.
Kalau
Ayahku, dia tuh aneh banget. Masak orang sesakti Ibuku yang bisa nyemburin asap
dari mulutnya dimarahin terus? Harusnya kan Ayahku bangga. Punya istri sesakti
Ibuku. Jarang lho, ada perempuan yang bisa nyemburin asap dari mulutnya. Aku
aja gak bisa.
Kakakku.
Dia tuh cowok yang paling pemberani. Namanya Oni. Sumpah deh, aku salut banget
sama satu-satunya kakak yang ku miliki ini. Apalagi waktu ngelihat, dia nusuk tangannya sendiri memakai
jarum suntik. Kan gak semua orang berani ngelakuin itu. Termasuk aku. Dia tuh beruntung banget. Bisa
lihat surga kapanpun semau dia. Tapi, sebelum itu, dia harus nyuntik dirinya
sendiri pakai cairan narkoba. Tapi gara-gara keseringan lihat surga, eeh dia
jadi ke surga beneran. Dan aku gak pernah lihat dia kembali lagi ke bumi.
Aku
pun gak tahu gimana kabar keluargaku lagi. Aku dititipin di hotel punya kerabat
Ibuku. Di hotel ini, aku bertemu dengan kerumunan manusia-manusia yang bisa
dibilang menyebalkan. Apalagi Surti. Dia
tukang ngatur. Segala tindak-tandukku diatur. Bahkan saat makan, aku masih
diatur. Please deh, aku tahu caranya makan. Makanannya diambil pakai sendok
kan, terus dimasukin ke mulut, dikunyah, terus ditelan. Tapi, aku masih aja
sering dibilang kurang sopan saat makan. Padahal menurutku aku sudah sopan.
Lagipula, aku tidak menduduki makanannya ataupun meludahi makanannya. Aku hanya
menumpahkannya sedikit.
Dan
aku pun tidak suka dengan orang-orang disekelilingku. Mereka selalu berdebat
denganku. Selalu berdebat perihal mana yang baik dan buruk. Udah banyak hal
yang aku perdebatkan dengan mereka. Mulai dari korupsi di Indonesia, sampai
kebiasaan orang-orang jaman sekarang. Sah-sah saja kan jika pejabat banyak yang
korupsi. Siapa yang tahan lama-lama dihadapkan dengan uang yang melimpah?
Bayangkan saja! Jika kamu dihujani dengan beribu lembaran uang seratus ribu,
apa yang akan kamu lakukan? Mengumpulkannya dan memberikannya pada orang lain,
atau mengumpulkannya dan memberikannya pada dirimu sendiri? Tentu saja kamu
memilih mengambilnya untuk dirimu sendiri. Terbukti kan? Itu sifat alami
manusia.
Yang
paling sering sih, berdebat tentang kebiasaan orang-orang jaman sekarang.
Kebiasaan yang menurut mereka membuang-buang waktu dan malah merusak.
Contohnya, kebiasaan seperti memilih mengutak-atik gadget daripada
mengutak-ngatik pekerjaan rumah. Menurut aku, itu hal yang biasa. Lumrah kan?
Toh manusia mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi. Yang menurut mereka jadi
masalah adalah, tindakan orang-orang di jaman sekarang yang keterlaluan, hingga
menggunduli hutan secara besar-besaran. Ini bukannya negara bebas? Jadi
menurutku selama akibatnya mereka tanggung dengan ikhlas, itu bukan masalah.
Banjir misalnya. Nyawa yang hilang bisa diganti dengan nyawa yang baru, kan?
Toh manusia lahir setiap harinya.
Mengapa
aku jadi berdiplomasi dengan diriku sendiri? Aku mengangkat tanganku dan
menjadikannya penyangga daguku. Menyelam lagi ke dalam pikiranku yang masih
berkutat dengan cerita-cerita. Aku pena hidup bukan? Pekerjaanku menulis cerita
orang-orang di sekitarku, dan menceritakannya.
Aku
mengedarkan pandangan pada orang-orang di sekitarku. Nampak raut muka yang sama
denganku. Mereka juga berdiplomasi dengan pikiran mereka sendiri-sendiri,
mungkin. Mataku pun menangkap bayangan yang ku kenal sudah lama. Ibuku.
Aku
tak tahu perasaan apa yang harusnya muncul dalam hatiku saat bertatapan muka
dengannya. Namun yang jelas, saat ini aku merasa biasa saja. Dengan Surti,
pemilik hotel ini Ibu mendekatiku.
“Hai,
Rena!” Ibuku menyapaku diiringi senyumnya yang menawan. Aku menarik dua sudut
bibirku, namun tak sungguh-sungguh tersenyum.
“Bagaimana
Dok? Rena sudah sembuh dari gangguan jiwanya?” Pertanyaan sama yang selalu
dilontarkan Ibuku kepada Surti.
Siapa sangka jika pena hidup ini
pengidap gangguan jiwa? Setidaknya kegilaanku tidak melebihi kegilaan dunia di
jaman sekarang.