Menu

Bagaimana Cara Menilai Benar atau Salah Sebuah Produk Jurnalistik

Dengan memilah jenis informasinya kepada empat bentuk argumentum, judiciam, verecundiam, hominem dan ignoratium.  kita tidak dapat memastikan kebenaran informasi selain jenis judiciam. dan di dalam informasi-informasi yang penuh dengan vercundiam, ktia dapat membuat analisis logika, serta menguji validitasnya, sehingga melahirkan informasi-informasi judiciam yang kebenarannya terbantahkan.  kita dapat melakukan hal itu terhadap produk jurnalistiknya atau muatan informasi yang terkandung dalam produk tersebut. dengan kata lain, kita dapat mengalisis apakah seorang jurnalis yang melakukan kebohongan ataukah narasumber itu yang berbohong.

Misalnya, benarkah Amien Rais mengatakan bahwa "Allah malu bila tidak memenangkan Prabowo jadi Presiden" ? karena bisa jadi informasi tersebut hanya hoax. Karena itu, informasi tersebut hanya bisa dipastikan kebenarannya dengan cara bertanya langsung kepada Amien Rais. Tapi apabila tidak bisa bertanya langsung, maka abaikan saja dan fokus pada alasan, konsekuensi  kontradiksi yang muncul, serta validitas argumentasinya. itu berarti kita mengoleksi kebenaran-kebenaran argumentum ad judiciam yang bersifat mutlak.  

Seperti misalnya, "jika Allah malu karena tidak memenangkan Prabowo, karena telah didoakan oleh jutaan umat. maka konsekuensinya, semestinya Allah juga malu apabil tidak memenangkan Jokowi, karena Jokowi juga didoakan oleh jutaan umat." ini menyankut hukum implikasi.  jika A, maka B. bila ternyata ada A, tapi tidak B, berarti implikasi nya bernilai bohong. di sini kita dapat menyimpulkan secara pasti kebohongan dari sebuah pernyataan yang termuat produk jurnalistik tersebut, tapi bukan berarti produk juranlistik itu sendiri yang bohong.

Kalau soal apakah wartawannya bohong atau tidak, cukupkah hanya dengan ada atau tidaknya keberatan dari pihak yang dimuat dalam berita?

Misalnya wartawan A memberitakan bahwa tokoh B mengatakan bahwa si C terlibat korupsi. Lalu si B protes pada watawan A bahwa dia tidak merasa menyatakan hal tersebut. Seandainya si B tidak protes, padahal berita itu ada di mana² apakah artinya berita dari Wartawan itu bisa dianggap benar?

Tidak protes tidak berarti membenarkan. memprotes, tidak berarti sang jurnalis berbohong. 

Saya memiliki teman jurnalis, dia menginvestigasi kasus korupsi salah satu anggota DPRD. sebelum memuat berita tersebut, dia meminta klarifikasi soal kebenaran berita tersebut kepada pihak yang bersangkutan. tapi bukannya diklarifikasi, teman saya malah dikeroyok oleh para bodyguardnya dan mengancam supaya berita tersebut tidak dimuat. dia protes.  dia menuduh bahwa isi berita itu hanya fitnah. tapi bila fitnah, mengapa harus sampai melakukan tindakan kekerasan dan pengancaman. itu antara klarifikasi dan tindakannya tidak selaras.  berita itu kemudian dapat dimuat, tapi dengan prinsip keseimbangan informasi dan klarifkasi dari pihak bersangkutan, bahwa yang bersangkutan menyangkal kebenaran berita tersebut. tapi karena telah ada tindakan kekerasan, kemudian redaktur nya membawa persoalan tersebut ke jalur hukum. 

Dari kasus tersebut dan dari banyak kasus lainnya, kita dapat menyimpulkan bahwa protes belum tentu diklarifikasi. klarifikasi, belum tentu protes. tidak protes belum tentu membenarkan. protes bisa jadi hanya tidak setuju berita tentang dirinya atau pernyataannya dimuat. tapi kalau klarifikasi dia memberi informasi tentang kebenaran isi berita tersebut yang menyangkut dirinya.

No comments: