Menu

Menjaga Istiqamah: Tantangan Terbesar Bukanlah di Luar, Melainkan dari Dalam

"Istiqomah yang Paling Sulit Bukanlah dari cara Berpakaian ataupun Rajin ke Majelis Taqlim Melainkan Menjaga Hati agar Tidak Merasa Lebih Baik dari Orang Lain"

Istiqamah, sebuah kata yang sering kali didengar dan diamini oleh banyak orang dalam menjalani kehidupan. Istiqamah, yang secara harfiah berarti konsistensi atau keberanian untuk tetap teguh pada jalan yang benar, adalah nilai yang sangat dihargai dalam Islam dan banyak agama dan filosofi lainnya. Namun, meskipun istiqamah sering dipuji, menjaganya jauh dari mudah, terutama ketika kita menyadari bahwa tantangan terbesar terletak bukan di luar diri kita, melainkan di dalam.

Banyak dari kita mungkin berpikir bahwa istiqamah terutama tentang hal-hal luar seperti cara berpakaian yang sesuai dengan nilai-nilai agama atau kegiatan-kegiatan keagamaan seperti rajin pergi ke majlis taqlim atau pengajian. Namun, saat kita menelisik lebih dalam, kita akan menyadari bahwa inti dari istiqamah sebenarnya terletak pada bagaimana kita menjaga hati kita sendiri.

Salah satu tantangan terbesar dalam menjaga istiqamah adalah menjaga hati agar tidak merasa lebih baik dari orang lain. Ini adalah ujian yang rumit karena melibatkan hubungan yang sangat dalam dengan diri kita sendiri, serta dengan orang-orang di sekitar kita. Sebuah hati yang merasa lebih baik dari orang lain seringkali menjadi sumber kesombongan dan sikap superioritas yang bertentangan dengan nilai-nilai sejati dari istiqamah. 

Sebuah hati yang merasa lebih baik dari orang lain dan menjadi sumber kesombongan dan sikap superioritas, sebagaimana diungkapkan oleh banyak tradisi agama, mitologi, dan pengalaman manusia, adalah salah satu sifat yang paling merusak dan berbahaya. Ini bukan hanya sebuah kesalahan karakter kecil; sebaliknya, itu adalah keadaan pikiran yang bisa membawa seseorang menuju kehancuran. 

Kisah kejatuhan Iblis adalah salah satu narasi yang paling terkenal dalam tradisi agama, mitologi, dan literatur. Ini adalah kisah tentang bagaimana kesombongan dan keangkuhan bisa menjadi penyebab kehancuran yang tak terelakkan. Dalam banyak tradisi, kisah kejatuhan Iblis sering kali dianggap sebagai peringatan akan bahaya kesombongan dan peringatan akan pentingnya tunduk pada kehendak Ilahi.

Menurut agama, mitologi, dan literatur, Iblis adalah makhluk yang dulunya merupakan salah satu malaikat yang paling dihormati dan disayangi oleh Alloh. Namun, kejatuhan Iblis dimulai ketika Alloh menciptakan manusia. Allah memerintahkan semua malaikat untuk bersujud kepada Adam sebagai tanda penghormatan. Namun, Iblis menolak untuk tunduk, karena merasa bahwa dia lebih baik dari manusia, yang dianggapnya terbuat dari tanah sedangkan dia terbuat dari api.

Ketika Iblis menolak perintah Alloh, kesombongannya menjadi jelas. Alloh kemudian mengutuknya karena penolakannya dan mengusirnya dari surga. Iblis, yang dulunya adalah salah satu yang paling dekat dengan Alloh, sekarang menjadi terkutuk dan diusir ke bumi bersama dengan para pengikutnya.

Kisah kejatuhan Iblis menggambarkan dampak yang merugikan dari kesombongan. Meskipun dulunya adalah makhluk yang paling mulia di antara malaikat, kesombongannya membutakan dia dari kebenaran dan memisahkannya dari Alloh. Akibatnya, dia diusir dari surga dan dikutuk untuk selamanya.

Sebuah hati yang merasa lebih baik dari orang lain dan menjadi sumber kesombongan dan sikap superioritas adalah salah satu sifat yang paling ditentang dalam ajaran agama dan filsafat yang mengajarkan istiqamah. Kesombongan dan sikap superioritas dapat membuat kita merasa bahwa kita lebih baik dari orang lain, sehingga menghalangi kita untuk merasa rendah hati dan bersikap adil. Istiqamah menuntut kita untuk tetap rendah hati dan mengakui bahwa setiap individu, tanpa memandang status atau latar belakang, adalah sama di hadapan Tuhan.

Sebuah hati yang merasa lebih baik dari orang lain dan menjadi sumber kesombongan dan sikap superioritas dapat membuat seseorang kehilangan perspektif tentang diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka. Mereka mungkin merasa bahwa mereka lebih baik atau lebih penting daripada orang lain, sehingga tidak lagi memperhatikan pandangan dan perasaan orang lain. Akibatnya, hubungan pribadi, profesional, dan sosial dapat menjadi tegang atau bahkan rusak.

Sebuah hati yang merasa lebih baik dari orang lain dan menjadi sumber kesombongan dan sikap superioritas cenderung merasa bahwa mereka telah mencapai puncak kemampuan mereka dan tidak lagi perlu belajar atau berkembang. Mereka menolak untuk menerima umpan balik atau saran karena mereka merasa bahwa mereka sudah tahu segalanya. Akibatnya, mereka gagal memanfaatkan peluang untuk tumbuh dan berkembang, dan kemungkinan besar akan tertinggal dalam hal-hal yang terkait dengan pembelajaran dan inovasi.

Sebuah hati yang merasa lebih baik dari orang lain dan menjadi sumber kesombongan dan sikap superioritas sering kali menjadi akar dari konflik antar sesama. Orang yang sombong cenderung bersikap superior atau merendahkan orang lain, yang dapat menyebabkan ketegangan dan pertengkaran dalam hubungan personal dan profesional. Mereka mungkin kesulitan membangun hubungan yang sehat dan saling menghormati dengan orang lain karena mereka tidak bisa melepaskan perasaan keangkuhan mereka.

Sebuah hati yang merasa lebih baik dari orang lain dan menjadi sumber kesombongan dan sikap superioritas membuat seseorang sulit menerima hikmah dan kedamaian batin. Mereka mungkin terlalu sibuk membanggakan diri mereka sendiri atau merasa bahwa mereka tidak memerlukan pertolongan atau panduan dari orang lain atau dari Tuhan. Ini mengarah pada kesendirian spiritual dan ketidakmampuan untuk menemukan kedamaian sejati dalam diri mereka sendiri.

Penting untuk selalu mengingatkan diri kita sendiri akan nilai-nilai istiqamah dan pentingnya menjaga hati agar tidak merasa lebih baik dari orang lain. Kita bisa melakukannya dengan memperkuat hubungan spiritual kita, selalu berusaha untuk merasa rendah hati, dan memberikan penghargaan kepada orang lain atas pencapaian mereka tanpa membanding-bandingkan dengan diri kita sendiri. Dengan demikian, kita dapat menjaga keberanian untuk tetap teguh pada jalan yang benar, bukan hanya dalam tindakan kita, tetapi juga dalam hati dan pikiran kita.

No comments: